Teh diklasifikasikan menjadi teh difermentasi atau tidak, serta menurut tingkat fermentasi yang digunakan dalam kategori berikut: (i) teh yang tidak difermentasi (contoh: teh hijau Jepang), (ii) teh semi-fermentasi (contoh: teh oolong), dan (iii) teh yang difermentasi (contoh: teh hitam).
Undang-undang Sanitasi Pangan (Food Sanitation Act) memberlakukan standar residu bahan kimia pertanian sebagai spesifikasi komposisi pada teh, oleh karena itu, importir di Jepang harus memeriksa terlebih dahulu peraturan penggunaan bahan kimia pertanian dan pola penggunaan di tempat teh ditanam.
Apabila teh dipergunakanan sebagai obat herbal maka teh tunduk pada ketentuan Undang-Undang Urusan Farmasi (Pharmaceutical Affairs Law), terkait dengan ini, importir Jepang harus memastikan bahwa produk (teh) yang akan diimpor tidak melanggar Undang-Undang Urusan Farmasi.
1. Undang-Undang Produk Teh.
1.1 Undang-Undang Perlindungan Tanaman (Plant Protection Act).
Daun teh yang sudah dikeringkan tapi belum diproses ditangani sebagai kategori “fresh produce” dan harus melalui proses karantina, termasuk screening untuk mengetes kontaminasi hama ataupun tanaman berbahaya yang tercakup dalam PPA. Daun Tehyang sudah mengalami proses pengolahan tidak termasuk dalam PPA
1.2 Undang-Undang Sanitasi Pangan (Food Sanitation Act).
Undang-undang ini mempunyai tujuan untuk mencegah bahaya sanitasi akibat makanan dan minuman dengan menerapkan peraturan dan tindakan lain yang diperlukan untuk memastikan kesehatan masyarakat, keamanan pangan dan dengan demikian untuk melindungi kesehatan masyarakat.
Secara garis besar, undang-undang ini berisi:
-
Makanan dan Aditif
-
Peralatan, Wadah dan Kemasan
-
Pelabelan dan Iklan
-
Standar Jepang tentang Aditif Makanan
-
Panduan, Pemantauan dan Bimbingan
-
Lembaga Penilaian Kesesuaian yang Terdaftar
-
Kewajiban Pelaku Usaha
-
Ketentuan lainnya yang terkait
Lihat informasi selengkapnya pada:http://www.japaneselawtranslation.go.jp/law/detail_main?id=12&vm=2&re
1.3 Undang-Undang Bea Cukai (Customs Act).
Berdasarkan peraturan ini Pemerintah Jepang melarang Cargo muatan barang impor yang labelnya tidak sesuai dengan kandungan didalamnya.
1.4 Karantina Tanaman.
Menurut Undang-undang Perling]dungan Tanaman, karantina tanaman diperlukan untuk impor teh yang tidak dipanaskan (unheated). Berikut prosedur karantina tanaman di Jepang.
Sumber: https://www.jetro.go.jp/en/reports/regulations/pdf/agri2009e_1007p.pdf
2. Standar Residu Kimia Pertanian (Agricultural Chemical) di Jepang.
Tabel berikut menunjukan standar residu bahan kimia pertanian yang diberlakukan pada teh.
Kimia Pertanian (Agricultural Chemical)
|
MRLs(ppm)
|
Catatan
|
ACEQUINOCYL
|
40
|
|
ACETAMIPRID
|
30
|
|
AZOXYSTROBIN
|
10
|
|
BIFENTHRIN
|
30
|
|
BUPROFEZIN
|
30
|
|
CARFENTRAZONE-ETHYL
|
0.1
|
|
CHLORANTRANILIPROLE
|
50
|
|
CLOTHIANIDIN
|
50
|
|
DICOFOL
|
3
|
limited to unfermented tea
|
DICOFOL
|
3
|
except unfermented tea
|
DINOTEFURAN
|
25
|
|
ETHIPROLE
|
10
|
|
ETOFENPROX
|
10
|
|
ETOXAZOLE
|
15
|
|
FENPROPATHRIN
|
25
|
|
FENPYROXIMATE
|
40
|
|
GLYPHOSATE
|
1
|
|
PROPARGITE
|
5
|
|
PROPICONAZOLE
|
0.1
|
|
PYRIPROXYFEN
|
15
|
|
SPINOSAD
|
2
|
|
SPIROMESIFEN
|
30
|
|
THIAMETHOXAM
|
20
|
|
TOLFENPYRAD
|
20
|
|
3. Pelabelan.
- Saat menjual teh dalam kotak di Jepang, pelabelan kotak harus tunduk pada Undang-Undang Sanitasi Makanan dan Standar Pelabelan Kualitas di bawah Hukum JAS.
- Teh organik dapat diberi label "Organic" setelah disertifikasi oleh Kementerian Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan Jepang, dengan label berikut: